Muna _ Kec.Kabangka, sultraupdate.com — Kasus dugaan penggusuran lahan yang menimpa keluarga Pak Taribun atau biasa di kenal (La Tarigu) hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar dalam penegakan hukum. Keluarga korban menilai terdapat ketimpangan serius dalam proses hukum, di mana pemilik sah lahan justru harus menjalani proses pidana, sementara pihak-pihak yang diduga melakukan penggusuran lahan secara sepihak belum tersentuh hukum.
Keluarga Pak Taribun menyampaikan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut telah lama dikuasai dan dikelola oleh Pak Taribun beserta keluarganya. Namun, dalam peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, lahan tersebut diduga digusur oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tanpa adanya pemberitahuan, tanpa persetujuan pemilik lahan, serta tanpa dasar hukum dan prosedur yang jelas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggusuran sepihak tersebut memicu ketegangan di lapangan dan berdampak langsung pada kondisi psikologis Pak Taribun. Dalam situasi tersebut, terjadi peristiwa penganiayaan yang kemudian menjerat Pak Taribun ke dalam proses hukum. Saat ini, Pak La Taribun diketahui tengah menjalani proses hukum karena terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan dengan memukul salah satu warga yang menurut kecurigaan dia terlibat atau menjadi bagian dalam kegiatan penggusuran lahan tersebut.
Anak kandung Pak Taribun, Ikbal Barakati, yang hadir sebagai narasumber dalam konferensi pers keluarga, menegaskan bahwa pihak keluarga tidak menutup mata terhadap kesalahan yang telah dilakukan ayahnya. Namun demikian, ia meminta agar peristiwa tersebut dipahami secara utuh dan adil.
“Kami tidak pernah membenarkan tindakan kekerasan. Ayah kami sadar bahwa perbuatannya adalah pidana dan beliau bersikap kooperatif serta bertanggung jawab penuh dalam menjalani proses hukum. Namun perlu dipahami, peristiwa itu terjadi karena hak atas tanahnya dirampas secara tiba-tiba, tanpa dasar hukum yang jelas. Reaksi itu terjadi secara spontan karena tekanan emosi di lapangan,” ujar Ikbal Barakati.
Menurut Ikbal Barakati, hingga saat ini keluarga belum pernah diperlihatkan dokumen resmi yang menjadi dasar hukum penggusuran lahan tersebut. Tidak ada putusan pengadilan, tidak ada surat peringatan resmi, dan tidak ada mekanisme musyawarah sebagaimana seharusnya dilakukan dalam sengketa pertanahan.
“Kalau memang ada dasar hukumnya, tunjukkan secara terbuka. Jangan masyarakat kecil yang jadi korban, sementara oknum yang diduga melakukan penggusuran justru bebas tanpa proses hukum,” tegasnya.
Keluarga Pak Taribun menilai penanganan perkara ini belum mencerminkan asas keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum. Di satu sisi, proses hukum terhadap Pak Taribun berjalan cepat dan tegas. Namun di sisi lain, laporan dan tuntutan agar aparat menelusuri dugaan penggusuran lahan secara melawan hukum belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Situasi ini dinilai berpotensi menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus konflik agraria. Keluarga khawatir, jika praktik penggusuran tanpa prosedur hukum dibiarkan, maka masyarakat kecil akan semakin rentan kehilangan hak atas tanahnya.
Menegaskan bahwa pihak keluarga akan terus mengawal kasus ini secara terbuka dan konstitusional. Mereka mendesak aparat penegak hukum agar bertindak objektif, profesional, dan tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum.
“Kami hanya meminta keadilan ditegakkan secara seimbang. Jangan sampai hukum terlihat tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Semua pihak yang terlibat dalam penggusuran lahan ini harus diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban sesuai hukum yang berlaku,” pungkas Ikbal Barakati.
Keluarga Pak Taribun berharap kasus ini menjadi perhatian serius aparat penegak hukum dan pemangku kebijakan, sekaligus menjadi pelajaran agar praktik penggusuran lahan tanpa prosedur hukum tidak kembali terulang dan merugikan masyarakat kecil di masa mendatang.





